Home
recent

Pilihan ke Maroko Negeri Seribu Benteng

Flashback sedikit bagaimana saya bisa mendapatkan beasiswa ke Maroko, saat duduk di bangku kelas tiga Aliyah, tahun dilema bertebaran di kepala para Santri. Begitu juga dengan saya, duduk di bangku tertinggi di pesantren adalah posisi yang sulit. Menempuh berbagai macam ujian, UN, UAS, UAMBN, Ujian pondok, Ujian Tiga bulan ,dan Ujian mental. Begitulah pondok kami menamainya. Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang, santer disingkat dengan PPDN-TB. Ditambah lagi berpikir dimana pelayaran ilmu saya selanjutnya, beban telah sempurna terasa.

Sebenarnya, saya sudah menentukan pilihan awal untuk melanjutkan studi ke Jami’ah Imam atau lebih dikenal LIPIA Jakarta. Ya, seperti umumnya keinginan teman-teman, dan kakak-kakak alumni pondok, mayoritas mereka yang ingin melanjutkan pengetahuan agama dan bahasa Arab memilih LIPIA sebagai pelabuhan ilmu berikutnya. Tapi itu sebelum booming nya beasiswa ke Tiga negara timur tengah, Mesir, Sudan, Maroko yang dijembatani oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia.

Sebagai calon Mahasiswa, tentu saya mempersipkan plan B, bilamana plan A tersangkut, bahkan gagal. Nah, pilihan alternatif saya jatuh ke negara Maroko. Maroko lebih dekat ke hati ketimbang dua opsi negara lainnya. Pertimbangan simpel sih sebetulnya saat itu, karena memiliki corak ilmu islam yang moderat, pusat ilmu maqoshid syari’ah dan punya alumni mumpuni di tanah air, Buya Abdul Somad misalnya. Contoh alumni yang paling bersinar. 

Mei 2016 pendaftaran beasiswa melanjutkan studi ke timur tengah dibuka, tanpa pikir panjang, Maroko saya tulis di kolom tujuan negara. Mendaftar secara online di website diktis kemenag. Pendaftaran yang tidak terlalu muluk, cukup isi data dengan benar, upload ijazah MA atau SKHUN, dan memilih lokasi ujian, karena saya tinggal di Kapubaten Kampar, saya pilih lokasi ujian UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Asyiknya, website kemenag transparan saat itu. Kita bisa cek berapa orang yang sudah mendaftar, dari sekolah mana saja, dan lokasi ujian yang dipilih. Iseng-iseng cek satu hari sebelum pendaftaran ditutup, kagetnya saya, 700 orang lebih mendaftar ke negara Maroko, sementara yang diterima 15 kepala saja.

            Tantangan besar tentunya, di satu sisi membakar semangat untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin, di sisi yang lain menjadi momok dan timbul benih-benih keputusasaan sebab banyaknya orang yang mendaftar. Jadi ingat pesan Buya saya di pondok dulu “kalaupun yang diterima itu hanya satu orang, yakinlah kamulah orang yang tunggal itu”.

 Pesan itu selalu terngiang-ngiang di kepala saya sampai saat ini, menjadi motivasi di kala persaingan dunia semakin ketat. Coba aja saya putus semangat mendengar angka 700 itu, bisa jadi kandas impian ke negara Afrika Utara ini. Terkadang memang perlu sekali kita mendengarkan pesan-pesan orang-orang di sekitar kita. Mungkin dalam waktu dekat pesan tersebut belum terpakai, namun percayalah bahwa suatu saat peasn itu yang menjadi motivasi kita. Apalagi yang memberi pesan orang tua, guru, sesepuh, tokoh masyarakat. Artinya, pesan tidak hanya menjadi simbol keformilan.

Seminggu setelahnya, tes diadakan. Deg-degan tentunya. Ujian terdiri dari 2 sesi,  tulisan dan lisan. Ujian tulisan saat itu meliputi kemampuan Bahasa arab, Nahwu shorof, menyambung ayat Al-Qur’an, Mufrod Jama’ wal murodif, hadits popular, siroh nabawiyah, dan wawasan islam lainnya, terakhir disuruh membuat Essay insya’ atau karangan berbahasa Arab dengan tema tertentu. Saya ingat tema insya’ yang saya pilih, ihtifalul muslimin fi Indunisya fi yaumi ‘idil fitri, perayaan umat muslim Indonesia di Hari idul Fitri.

Mulai saya tulis, rangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Saking panjangnya, tulisan saya melebihi kolom essay yang disediakan. Sengaja, karena pikir saya saat itu, “paling orang Indonesia kalau melihat insya’ panjang-panjang begini pasti suka” dan ternyata usaha itu membuahkan hasil.

Prinsip membuat essay panjang-panjang itu sempat saya pertahankan saat tahun-tahun awal di Maroko, hasilnya ternyata nihil, saya kira dosen-dosen akan memuji karena merangkai kalimat yang begitu panjang. Justru orang Arab lebih suka essay yang simpel tapi padat makna. Jangan membual dan ngalor kidul di kertas ujian”, katanya.

Beberapa jam kemudian, ujian lisan dilaksanakan. Ujian lisan terdiri dari baca selebaran atau artikel Bahasa arab, kemampuan nahwu shorof, tahfidz Al-Qur’an, dan berbincang dengan penguji kenapa memilih negara ini sebagai tujuan. Akhirnya rangkaian ujian pun selesai saya laksanakan. Tugas ikhtiar selesai saya kerjakan. PR selanjutnya adalah perbanyak do’a kepada Allah setiap selesai Sholat dan bertawakkal apapun hasilnya.

Berbeda tes Maroko berbeda pula tes LIPIA. April 2016 saya bersama teman lainnya berangkat ke Jakarta untuk mengikuti ujian. Sama deg-denganya sih, bahkan lebih parah, karena tes LIPIA lebih awal ketimbang Maroko. Saat itu, tes LIPIA memakai sistem kualifikasi. Lulus tes tahriri (tulisan) baru bisa ikut tes syafahi (lisan). Ujian pertama yang saya hadapi pure dengan bahasa Arab, pertama kalinya juga berbicara Arab dengan masyaikh yang berasal dari negara Arab yang berbeda-beda.

Eh, tidak pertama kali juga sih, dulu pernah asal ngomong Arab kepada orang Arab di puncak Bogor saat masa study tour  sebulan sebelumnya. Sok-sokan berbahasa Arab, padahal ga paham, teman saya bertanya hal ataaka haditsul ghosyyiah? Seolah Fasih betul melantukan bahasa Arab Fushah, belakangan kami terpingkal-pingkal karena baru sadar itu ayat Al-qur’an.               

            Pengumuman kelulusan LIPIA begitu lama, sempat beberapa kali dimundurkan dari tanggal yang telah ditentukan. Berminggu-minggu berada dalam ketidakpastian, lulus ngga ya? Lulus ngga? Gimana kalau tidak lulus?  Memang sih ga enak posisi status digantung itu.

Saat yang ditunggu pun tiba, hasil tes LIPIA keluar di website resmi. Dan Alhamdulillah saya masuk di antaranya. Seminggu setelahnya, saat yang ditunggu kloter kedua pun tiba, sekitar 3 minggu setelah ujian timur tengah dilaksanakan pengumuman kelulusan pun keluar. Puji dan syukur yang tak terhingga kepada Allah Azza Wajalla, Alhamdulillah saya dinyatakan lulus menerima beasiswa Maroko bersama 14 teman lainya yang berasal dari berbagai daerah dan provinsi se-Indonesia.

Sekarang saya telah diterima di dua tempat, LIPIA Jakarta dan negara Maroko. Tentu  sebuah dilema besar bagi saya. Setelah berbagai pertimbangan matang dan masukan dari keluarga, guru, dan ustad-ustad yang berada di daerah, akhirnya saya mantap untuk memilih Maroko untuk menjadi bahtera ilmu berikutnya.

Ada hikmahnya pengumuman kelulusan LIPIA dimundurkan dari tanggal yang ditentukan, seandainya saya lulus sebelum daftar ke Maroko, bisa saja saya lebih memilih LIPIA dan mengurungkan niat untuk mendaftar Maroko. karena lebih jelas dan pasti, sejumlah rencana strategis sudah dibuat sendainya saya tinggal di Jakarta beberapa tahun ke depan.

 Bahkan sebagian besar daerah Jakarta Selatan sudah saya jelajahi. Mantan calon anak Jaksel nih. Tapi Allah berkata lain, Allah berikan tempat yang lebih baik, dengan beasiswa full dan tidak merepotkan orang tua lagi.

Dahsyatnya Do’a Orang Tua

            Salah satu kunci mendapatkan hal yang kita inginkan adalah do’a orang tua. Terutama ibu. Setiap melaksanakan lomba apa pun, saya selalu meminta do’a agar diberi yang terbaik dengan juara satu, begitu juga saat akan melaksanakan ujian, do’a ibu selalu saya minta beberapa hari sebelumnya. Amalan ini selalu saya pegang teguh bahkan sampai sekarang, do’a orang tua selalu menyertai setiap kegiatan saya.

            Mungkin banyak pertanyaan, “kenapa do’a saya tidak dikabulkan? Kenapa saya gagal ini dan itu?” Jawabannya coba intropeksi diri kita, apakah hubungan dengan orang tua baik? Apakah ibu selalu mendo’akan? Kalau ternyata tidak, mulai sekarang cobalah meminta didoakan kepada perempuan yang paling mulia di hidup kita itu. Jangan sampai ada yang namanya gengsi, menganggap bahwa doa ibu tidak diperlukan lagi, sudah cukup kokoh dengan do’a pribadi masing-masing.

Bagi ibunya yang sudah tiada, maka berdo’alah untuknya agar ditempatkan di tempat terbaik, sampaikan juga bahwa kamu akan ujian ini dan itu, Allah maha mendegar dan Allah akan mengabulkannya.  Jangan bangga sudah kenal banyak orang besar, orang terkenal, sudah minta dido’akan kepada mereka, namun melupakan orang do’a orang tua. Menganggap do’a orang lain lebih utama daripada do’a ibunya, itu salah tentunya.

Seorang ulama besar di Yaman sering diminta dido’kan oleh jemaah ataupun orang yang datang kepadanya. Minta dido’akan ini dan itu. Lalu beliau selalu bertanya balik “apakah ibumu masih ada? jika masih ada maka mintalah do’a yang pertama kali kepadanya”.

Intinya, ujian apapun yang akan kita hadapi, maka jangan lupa tiga kunci suksesnya, isi kepala, do’a pribadi dan do’a prang tua, serta tawakal apapun hasil yang kita dapatkan. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.