Home
recent

Buya Godang, dan Awal Pendirian Pesantren


Setelah melalang buana menuntut ilmu agama islam, mulai dari kampungnya, lalu ke Sumatera Barat, Siak, dan Malaysia, ditambah pula bubarnya kegiatan belajar mengajar di Madrasah Daarul Muallimin, Buya godang pun berniat mendirikan pondok pesantren. Hal ini didukung oleh masyarakat Desa Muara Uwai, Bangkinang. Buya sadar jika pondok ini akan menjadi basis kegiatan kegamaan masyarakat Bangkinang.

Namun, beliau juga menyadari pembangunan infrastruktur pondok memerlukan dana. Setelah merogoh koceknya, Buya mencoba mencari peruntungan ke daerah Malaysia (saat itu Malaysia masih belum menjadi negara, masih wilayah kekuasaan inggris). Memang masyarakat Kampar terkenal banyak memiliki hubungan di tanah jiran tersebut. Di sana Buya mendapat sokongan dana dari saudagar-saudagar melayu yang menaruh simpati kepadanya.

Usahanya bukan tanpa tantangan, perahu yang ia tumpangi saat perjalanan pulang dari Malaysia ke Riau sempat karam. Namun, beruntung buya berhasil selamat dan duit shodaqoh tadi berhasil ia bawa dengan keadaan masih basah. Allah jaga beliau dan niatnya dari musibah yang terjadi saat itu.

“Beliau cari duit untuk pondok sampai ke Malaysia naik sampan, bahkan pernah karam di tengah laut dan duitnya masih basah-basah” tutur Buya Muhammad Natsir Nur.

Selain itu, banyak masyarakat Bangkinang mendukung ril dan moril niat buya ini. Alhasil, ada yang berinfak dengan tenaganya, ada yang beramal jariyah melalui shodaqohnya, dan cara-cara lain untuk membangun pesantren yang kelak dinamakan Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib. Begitu pula bekas-bekas murid Buya Abdul Malik, banyak yang mengajar pada awal-awal masa pendirian. Namun satu prinsip buya dalam menerima bantuan, beliau tak akan menerimanya, jika bantuan tersebut bersifat mengikat. Apalagi ikatan politik.

Setelah melewati lika-liku, dan memperoleh dukungan tenaga dan finansial, pondok pesantren yang diimpikan masyarakat dan buya godang berhasil didirikan, 18 Agustus 1948 di desa Muara Uwai, Bangkinang.

Belum genap pesantren itu berumur satu tahun, meletuslah agresi Belanda 31 September 1948. Agresi kolonial tersebut membuat para guru dan santri terpaksa mengungsi. Bahkan tak sedikit pula yang ikut bergerilya mempertahankan kemerdekaan.

Pondok pesantren ini pada awalnya terletak di tepi sungai Kampar. Sekitaran tahun 1970an terjadi banjir besar di kabupaten Kampar, hingga membuat bangunan pesantren hancur. Alhasil, pesantren pun dipindahkan beberapa puluh meter dari tempat asal tersebut.

Layaknya sekolah-sekolah pada masa dulu, pondok daarun bisa dibilang sangat sederhana, masih serba alami. “lantainya masih tanah, kursi panjang, dan meja panjang, cukup untuk 3-4 orang” ujar Buya Nasir yang saat ia sekolah di sana pada tahun 66 sampai 73.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.