Biografi Imam Malik bin Anas
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Beliau adalah Abu Abdullah, Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail
bin Amr bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya
berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota
Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.
Imam Malik dilahirkan di Kota
Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita Muhammad, tepatnya tahun 93 H.
Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi
yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid
dari sahabat-sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis
yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah
bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya, radhiallahu ‘anhum.
Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.
Awalnya, saudara Imam Malik yang
bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam mempelajari hadits-hadits Nabi.
Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar langsung hadits-hadits
yang mereka riwayatkan dari para sahabat. Kemudian Imam Malik pun mengikuti
jejak saudaranya dalam mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam Malik
melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya semakin tampak karena
Malik juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.
Perjalanan Menuntut Ilmu dan Menjadi Ulama Madinah
Ibu Imam Malik adalah orang yang
paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak
hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab
dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan
imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada
Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Imam Malik belajar dari banyak
guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak memperoleh
manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat
adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak
mengetahu suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu
Harmaz berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya
perkataan ‘aku tidak tahu’.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu
syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang
paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi,
di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.
Salah satu hal yang menarik dari
kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan
pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan
penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk
Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari para
leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila
penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Alquran
dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber rujukan atau sumber
hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab
lainnya.
Sifat dan Karakter Imam Malik
Dari segi fisik, Imam Malik
dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar.
Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas
rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata
beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim
mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits setampan Malik.”
Selain Allah karuniai fisik yang
rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa.
Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam
besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu,
bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada
majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan
karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa
bagi murid-muridnya. Demikian juga saat murid-muridnya berbicara dengannya,
mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara. Wibawa itu tidak hanya
dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan
mendengarkan nasihatnya.
Imam Syafii yang merupakan salah
seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak
pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga
penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu
berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para
penguasa.”
Imam Malik juga dikenal dengan
semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya.
Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi
hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan
29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,
إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب
“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang
bintang yang cerdas (menghafalnya pen.).
Wafatnya
Imam Malik rahimahullah wafat di Kota Madinah pada tahun
179 H/795 M dengan usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah merahmati
Imam Malik dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.
Sumber : kisahmuslim.com
ilustrasi pembelajaran zama dahulu |
Tidak ada komentar: