Ber"Syafi'i di Negeri "Maliki"
Perkembangan mazhab-mazhab dalam
islam sudah berkembang sejak lama. Seperti yang kita kenal bahwa ada 4 mazhab
yang masih eksis sampai sekarang, mazhab yang memiliki tonggak yang kuat dan
masih utuh berdiri selama ratusan tahun. Mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab
Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Perlu kita ketahui bahwa mazhab-mazhab fiqih
tidak hanya terbatas 4 itu saja, sebenarnya terdapat puluhan mazhab-mazhab yang telah
lahir pada saat itu. Sebut saja mazhab imam al-laitsi, mazhab sufyan ats-sauri,
mazhab imam al-auza’I, dan mazhab-mazhab lainnya.
Tetapi karena
perkembangan fiqih islam, pendapat-pendapat mereka tidak dipakai lagi, dan
murid-murid mereka tidak meneruskan apa yang di ajari gurunya tersebut. Juga
karena murid-murid mereka kurang melakukan tadwin, atau menulis apa yang telah
disampaikan oleh guru-gurunya. Makanya, tadwin atau menulis itu sangatlah
penting, kembali
ke topik, bersyafi’i di negeri Maliki. Tentunya saya akan lebih fokus
membandingkan mazhab syafi’i yang dipakai mayoritas muslim Indonesia dan mazhab
Maliki yang dipakai mayoritas muslim Maroko.
Mazhab Syafi’i, Dinisbatkan kepada Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i
memiliki pengikut yang sangat banyak di berbagai belahan dunia. Pengikutnya
tersebar terutama di Indonesia, Irak, Syria, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand,
Kamboja, Vietnam, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi
negara Malaysia dan Brunei.
Selanjutnya mazhab Maliki, yaitu mazhab yang didirikan oleh
Imam Malik bin Anas, dari, mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan
Utara,seperti Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Sahara Barat,
Senegal, Gambia, Niger, Nigeria, dan yang lainnya. Pada awal mulanya mazhab
Maliki berkembang didaerah Madinah, sebab Imam Malik sendiri merupakan seorang
ulama yang lahir dan tumbuh besar di kota Madinah, maka salah satu metodologi
istinbath hukum yang dilakukan Imam Malik adalah dengan melihat amalan penduduk
Madinah pada waktu itu. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang
dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar
hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih pada umumnya.
Mazhab Maliki ini di anut oleh hampir 100% penduduk Maroko.
Karena memang dalam perundang-undangan mereka tertulis bahwa mazhab aqidah
resmi adalah aqidah Asy’ariyah, mazhab fiqih resmi adalah Malikiyah, dan
tasawuf Imam Al Ghazali, plus tambahan mazhab qiro’at resmi yakni qiro’at warsy
dari nafi’. Berbeda dengan itu, kita di Indonesia sudah lama dididik dengan
mazhab syafi’I, karena memang Indonesia salah satu basis negara bermazhab
Syafi’i di dunia.
Sebagai Mahasiswa Indonesia yang notabene sudah dididik sejak
lama dengan mazhab Syafi’i tentu ini merupakan sebuah kendala, apalagi ketika
baru-baru tiba di Maroko. Bagaimana cara kita bisa mengoptimalkan
ke’’syafi’ian’’ kita di negeri maliki ini. Karena mau tidak mau pasti kita akan
sering ditegur oleh orang-orang Maliki di sini, apalagi masyarakat Awam.
Contohnya ketika duduk tasyahud dalam sholat. Pernah saya
ditegur sehabis sholat oleh orang Maroko di samping saya ‘’hei kenapa kamu
tidak menggerak-gerakkan jarimu tadi saat tasyahud?’’ lalu saya bilang, saya
mazhab Syafi’i, dan menurut mazhab Syafi’i, isyarat jari itu tidak
digerak-gerakkan. Seandainya digerak-gerakan, hukumnya makruh, namun tidak
membatalkan shalat karena gerakannya sedikit, di lain pendapat mazhab syafi’i
bahwa mengangkat telunjuk dimulai dari kalimat illallah sampai akhir tasyahud’’.
Lalu dia tetap membantah
“di dalam mazhab Maliki harus menggerak-gerakkan telunjuk mulai dari awal
sampai akhir tasyahud, walau kamu mazhab syafi’i kamu harus ikut kami pendapat
maliki, karena kamu berada di sekitar orang-orang Maliki’’ wah, nyali saya agak
ciut nih, soalnya beliau menegur pas setelah salam akhir sholat, banyak orang
menoleh ke arah kami. Ya sudah, saya ucapkan aja syukron, dan tidak mau
memperpanjang masalah.
Kasus ini tidak hanya
sekali, tetapi sering terjadi. Maklumlah mereka masih asing dengan kita orang
Asia Tenggara yang memang berlandaskan mazhab Syafi’I, Lagipula kenapa kita
masih risih mengurus jari telunjuk orang di samping kita?
Di lain kasus, ketika wudhu misalnya. Pernah lagi saya
ditegur oleh penjaga tempat wudhu di masjid dekat rumah saya. Oh iya kebanyakan
masjid di Maroko ini ada penjaga toilet dan tempat wudhu. Mereka menjaga tempat
air panas, karena hampir diseluruh masjid Maroko itu ada bak yang khusus air
panas, supaya jama’ah tidak boros menggunakan air panas ini maka bak ini
ditunggu oleh seorang yang ditugaskan oleh takmir masjid, selain itu mereka
juga mengawasi sumbangan infak yang ada di depan pintu masuk toilet tersebut.
Ketika saya selesai berwudhu’, sang penjaga tadi bilang
“wudhu kamu tadi tidak sah, karena rambut kamu tadi tidak di usap seluruhnya”. Lalu
kalimat pamungkaspun saya keluarkan “afwan, ana indunisiy syafi’iyul mazhab,
dalam mazhab syafi’i tidak disyaratkan untuk membasuh seluruh bagian rambut
tetapi cukup minimal 3 helai saja”, sambung saya. Karena memang di dalam mazhab
mazhab Maliki disyaratkan untuk mengusap seluruh bagian rambut. Seorang jama’ah
yang sedang berwudhu juga membela saya, dan menjelaskan sedikit tentang hal itu
kepada sang penjaga tadi. “ooh, kalau begitu ya sudah tidak apa-apa” jawab sang
penjaga.
Kemudian persoalan anjing. di Maroko ini tidak aneh lagi kita
akan melihat anjing-anjing berkeliaran. Anjing masuk ke dalam rumah, anjing
yang dibawa jalan-jalan, itu bukan hal yang tabu bagi mereka. Karena memang di
dalam mazhab Maliki, najis yang melekat pada diri anjing itu hanya pada lidah
atau air liurnya, mazhab Maliki juga mengataan tidak ada dalil yang sharih
(tegas) menyebutkan kenajisan tubuh anjing, kecuali air liurnya saja. berbeda
dengan kita, logika yang dipakai mazhab Syafi’i sedikit berbeda. Air liur
anjing yang bercampur dengan benda lain membuat benda lain jadi najis. Karena
air liur bersumber dari perut, benda apapun yang berasal dari perut seharusnya
najis. Kesimpulannya, seharusnya bukan hanya air liurnya saja yang najis,
tetapi juga tubuhnya termasuk daging, tulang darah, kulit, bulu dan keringar
yang semuanya tumbuh dari makanan perut.
Tentu masih banyak lagi kasus dan cerita tentang bersyaf’i di
negeri Maliki ini, yang tidak mungkin akan diceritakan satu persatu. Intinya
bagaimana seorang yang sudah lama dididik dengan fiqih syafi’i tiba-tiba
dihadapkan dengan fenomena perbedaan mazhab yang cukup menonjol di negeri
gerbang Andalusia ini. Beriringan dengan itu kita tidak melupakan asas tasamuh
dalam berbeda mazhab, yaitu toleransi dengan mayoritas mazhab daerah yang
sedang ditempati. Contohnya seorang imam Syafi’i ketika beliau menjadi imam
subuh di daerah qubbah yang dekat dengan kuburan imam Abu Hanifah, beliau tidak
membaca qunut, karena memang di dalam mazhab Hanafi tidak disunnahkan qunut
setelah ruku’ di raka’at kedua.
Tetapi mempelajari fiqih mazhab Maliki kepada para ulama
Malikiyah di Maroko merupaka nilai plus bagi mahasiswa Indonesia di Maroko
tanpa menghilangkan kesyafi’annya yang sudah melekat pada dirinya sejak kecil.
Akhi. Mau tanya kalau kita sholat Jumat di sana dan imamnya Mazhab Maliki. Kita yg bermazhab syafii sebagai Ma'mun harus gimana . Syukron.
BalasHapuskalau sholat jum'at itu tidak pakai qunut, yang pakai qunut itu sholat subuh, dan qunutnya sebelum ruku', berbeda dengan mazhab syafi'i qunut setelah ruku'
BalasHapus