New Normal Versi Saya
Keadaan Covid 19 yang
berkepanjangan tentunya memberi dampak buruk hampir di semua sektor.
Kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan sektor fundamental
lainnya. Banyak aktivis-aktivis, penggiat media sosial, dan peneliti
memprediksi akan ada kondisi yang disebut dengan keadaan New normal.
Ya, kalau ditilik
dari berbagai macam diskusi dari berbagai macam tokoh pula tentu pembahasannya
tidak lepas dari dampak Covid 19 ke semua sektor yang disebutan tadi. New
normal mereka mengistilahkannya. Keadaan baru yang berbeda dari zaman pra
Covid. Memang masih normal, tapi banyak potret-potret baru yang berbeda dari
kenormalan tersebut.
Kalau
mereka mencontohkan, dari segi kesehatan orang-orang akan lebih peduli dengan kebersihan, kita sudah terlatih mencuci
tangan berkali-kali dalam rentang waktu yang sebentar, memakai masker di tempat
umum, dan bersin dengan keadaan super tertutup.
Contoh
lain, segi sosial, mungkin keadaan physycal Distancing akan mengubah
cara orang-orang bersosialisasi dan berinteraksi. Akan ada sekat-sekat jarak
yang memisahkan atas nama physycal distancing tersebut. Nongkrong-nongkrong
bersama wan-kawan bakal lebih diminimalisir, dan dipilah pilih mana nongkrong
yang produktif dan mana yang kontra produktif.
Nah saya
memprediksi kondisi new normal versi saya. Dua negatif satu positif.
Sudah hampir dua bulan di rumah saja, tentu aktifitas di luar sangat-sangat
minim. Berolahraga yang biasanya diagendakan sekali semingggu atau dua minggu
itu sudah ditiadakan. Keluar rumah hanya untuk sekedar menghabiskan tenaga juga
sudah lenyap. Tentu keadaan itu mengakibatkan susah tidur malam bagi Saya.
Begadang, seolah
sudah menjadi adat selama masa karantina ini. Tubuh tidak mau diajak kompromi untuk tidur malam. Ia masih bersikukuh untuk tetap bertahan karena
belum capek, katanya. Walau hati kecil berbisik pengen tidur selayaknya orang
normal. Akibatnya tidur sehabis subuh lebih menggoda ketimbang tidur di malam. Gara-gara
Covid.
Sering
sujud sahwi, akibat lama tidak sholat berjama’ah di masjid. Sholat sendirian
seolah menjadi pilihan pamungkas. Nah, sebab seringnya sholat sendiri, yang
namanya manusia, tempat asalnya lupa dan lalai, tentu lupa jumlah raka’at
sudah jadi barang tentu.
Kalau menurut data statistik
abal-abal versi saya, lupa jumlah raka’at saya sering terjadi sekitar 5% sampai
10%. Artinya satu dari sepuluh atau dua puluh sholat saya akan ada lupanya. Astaghfirullah al’adzhim. Semoga new
normal yang satu ini tidak akan terjadi pasca Covid 19. Gara-gara Covid.
Asah
skil masak, terlalu lama di rumah, tidak tau mau berbuat apalagi, mengasah jari
tangan membuka kolom penacarian youtube dengan keyword “cara memasak Ayam
ini dan itu”, “cara memasak dendeng” dan lain sebagainya.
Lalu praktek di dapur rumah
dengan bahan seadanya. Karena banyak rembah-rempah di Indonesia susah bahkan
tidak bisa ditemukan di Maroko. Tentu menjadi tantangan dan kebahagian tersendiri
ketika tester masakan saya merasa puas. Gara-gara Covid
Poin satu dan dua saya
mengistilahkannya the negatif new normal, dan berharap tentu tidak akan eksis
pasca pandemi ini. Sementara poin terakhir bisa diistilahkan the positive
new normal, dan bisa menjadi hobi baru di kala tetap di rumah
menjadi alternatif di masa-masa selanjutnya. Lalu bagaiamana New Normal versi kalian?
Aku sih yes.
BalasHapus1.tidak ada lagi bersalaman seusai sholat berjamaah.
2.bunyi kentut akan lebih dihargai daripada batuk selama belum ada fakta ilmiah bahwa kentut juga dapat menularkan covid.
3.semua orang seolah-olah seperti abiturent daarun nahdhah, ketika ada yang batuk plus berdahak, semua mata akan tertuju padanya.
Dan banyak le, wkwkwk
BalasHapus