Tradisi dan Istilah yang Melegenda dari Daarun Nadhah
Sebagai pondok pesantren tertua di
provinsi Riau, Daarun Nahdhah sudah melahirkan abturent-abiturenten yang mumpuni sesuai di bidangnya masing-masing.
Pondok tua biasanya identik dengan
tradisi (jelas tradisi yang baik sesuai dengan syariat) di lain sisi pondok tua
pastinya punya istilah-istilah sendiri yang sudah melegenda dan selalu teringat
di kalangan
santriwan-santriwati maupun alumni-alumninya. Lalu apa sajakah istilah-istilah
serta tradisi yang menunjukkan identitas Daarun Nahdhah ? simak ulasan sebagai
berikut.
1.
Bukabarit,
Bukabarit adalah kegiatan sidang pelanggaran mingguan santri asrama baik
putra maupun putri, Kegiatan rutinan
mingguan ini biasanya diadakan setiap ahad malam dan selalu ditakuti bagi setiap pelanggar aturan
asrama. Kelas 7 sebagai kakak tertua akan mencatat setiap pelanggaran anggota
asrama. Baik pelanggaran ringan maupun berat, akan ditulis di kertas yang
dinamakan ”rekesan”. Sering berkembangnya zaman, kini hak otoritas pencatat
tidak hanya dipegang oleh kelas 7 saja, bahkan santri kelas 1 sampai kelas 6
juga sudah punya wewenang untuk mencatat rekesan temannya ataupun abang kelas,
dengan syarat disertai dua orang saksi. Terlebih lagi sekarang pembina asrama
dan “musyrif” juga punya wewenang demikian.
Setiap rekesan akan disimpan dikotak khusus yang dinamakan kotak “barit” ditempel di dinding masjid atau rekesan
tersebut dikumpulkan kepada ketua
asrama. Tepat setelah sholat isya’ ahad malam, rekesan akan dibacakan didepan para santri dan dihukum rotan
oleh mudir. Jumlah pukulan rotan bervariasi tergantung tingkatan
pelanggarannya.
2.
Rekes.
Seperti yang telah disebutkan tadi, rekes adalah catatan pelanggaran santri
asrama yang ditulis oleh santri kelas 7 atau senior. Kertas tersebut dinamakan
“rekesan”. Diriwatakan dari Abuya RusydiNur bahwa beliau berkata , “Rekes berasal dari
bahasa Inggris yakni “request” yang bermakna permintaan”. Artinya, orang yang
sudah direkes (pelaku pelanggaran) adalah orang yang meminta untuk di rotan.
3.
Abiturent/Abturenten
Dua istilah ini bermakna Alumni, Abiturent untuk mudzakkar (laki-laki) dan Abiturenten untuk muannats
(perempuan). Dua istilah ini sudah lama melakat untuk Alumni pondok pesantren Daarun
Nahdhah Thawalib Bangkinang. Penyematan nama “Abiturent” disimbolkan dengan
pemberian selempang bertulisan Abiturent pada momen perayaan santri kelas 7.
Sebenarnya isitlah ini bukan pertama kali dicetuskan oleh pondok pesantren
Daarun Nahdhah, melainkan lembaga pendidikan di luar sumatera jauh hari sudah
ada yang memakai dua istilah yang berarti “alumni” ini.
Abuya SyahrizulNur rohimahullah pernah berkata “saya mendapatkan isitilah Abiturent
ini pada kamus Indonesia populer yang artinya Alumni”. Namun demikian, isitilah
ini sangat populer di provinsi Riau untuk menunjukkan arti alumni Daarun
Nahdhah. Buktinya, sudah banyak tokoh-tokoh terkemuka di Riau maupun yang
berkiprah di luar dengan bangga melekatkan namanya dengan istilah “Abiturent
angkatan sekian”. Bahkan sekarang sudah ada forum Abiturent Daarun Nahdhah yang
sekarang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Ilyas Husti, MA.
4.
Khonidat
Khonidat adalah sebuah kegiatan tradisional untuk melatih mental santri setingkat Aliyah.
Dulu, guru bidang nahwu shorof atau qowaid menerapkan salah satu standar
penilaian santri berupa kegiatan khonidat ini. Setiap santri Aliyah akan diutus ke kelas
tsanawiyah dan akan ditanyai hal-hal yang berkaitan dengan Nahwu shorof dari
adik-adik kelasnya. Jika jawaban memuaskan, maka akan tinggi nilainya, begitu
juga sebaliknya. Sayang, kini kegiatan ini sudah mulai memudar bahkan mati
dimakan usia.
5.
Muzakarah
Muzakarah adalah kegiatan wajib diikuti
setiap santri asrama baik putra maupun putri. Muzakarah berasal dari Bahasa
arab yang artinya mengingat-ingat (pelajaran). Setiap santri akan dikelompokkan
sesuai dengan tingkatan kelasnya, kelompok yang terdiri dari 5-7 orang ini akan
mengulang-ulang pelajarannya yang telah berlalu dan membuka diskusi untuk
pelajaran besoknya, terutama pada pelajaran agama.
Misalnya diskusi kitab matan alfiyah, satu
orang akan baca kitab, sementara yang lainnya akan menyimak dan mengoreksi jika
ada bacaan yang salah, lalu teman lainnya akan diberi kesempatan untuk menerjemahkan,
lalu jika ada yang kontra di sinilah terjadi diskusi ringan dalam kelompok
Muzakarah. Muzakarah dilaksanakan setiap malam kecuali selasa malam.
Zaman dahulu, Muzakarah ditemani lampu
semprong di setiap kelompok. Seiring berkembangnya zaman muzakarah sudah didukung
dengan lampu lapangan yang memadai.
6.
Perayaan atau bolek Darun.
Kalau di luar kita kenal dengan istilah “acara wisuda” atau “farewell
party”, berbeda di Ponpes
Daarun Nahdhah dikenal dengan isitlah “perayaan” atau “bolek Daarun”
Perayaan tidak muluk-muluk isinya acara santri kelas tujuh, tetapi esensi
dari peraan sendiri adalah ajang silaturahim abiturent/abiturenten yang
diadakan sekali setahun di kampus tercinta.
Sedangkan kata “bolek” berasal dari bahasa ocu kampar yang berarti
berpesta. Yang mana pada acara ini diharapkan bisa menjadi ajang temu kangen
dengan sesama abiturent.
Lalu bagaimana dengan konsumsi ketika perayaan ? setap abiturent terkhusus
yang berdomisili di Bangkinang biasanya akan membawa “jambau” (makanan
berjambar atau rantang) secara sukarela, bahkan tidak sedikit pula donatur
untuk acara bolek darun ini.
7.
Goro pra perayaan
Goro (gotong-royong) adalah kegiatan wajib yang dilaksanakan oleh seluruh
elemen Ponpes Daarun Nahdhah. Santri-santri, guru, pegawai, bahkan Mudir juga
ikut ambil bagian dalam kegiatan ini demi menyukseskan acara bolek darun.
Selama seminggu akan dilakukan pembersihan kampus dan sekitarnya secara
totalitas. Zaman dahulu, santri kelas tujuh akan ditugaskan untuk membuat
pentas serta menghiasinya, karena pentas dahulu tidak permanen seperti sekarang.
Sedangkan santri kelas 1 sampai 6 akan ditugaskan untuk membuat jalan dari
sungai kampar sampai pintu masuk kampus Daruun, karena dahulu jalanan masih
penuh lumpur belum beraspal seperti sekarang.
8.
Istilah “Buya
godang”
Daarun Nahdhah Tempo Doeloe Bersama Pendiri |
“Buya godang” adalah istilah besar yang
disematkan kepada pendiri sekaligus pimpinan pertama pondok pesantren Daarun Nahdhah
Thawalib Bangkinang, Almarhum KH. Muhammad Nur Mahyuddin. Istilah tersebut
diberikan karena besarnya jasa beliau dalam bidang Pendidikan, dan agama islam.
Baik formal maupun non formal, untuk masyarakat Riau terutama kabupaten Kampar,
terlebih dengan didirikannya pondok pesantren pertama di Riau tersebut semakin
jelas bukti pedulinya beliau di bidang akedemik.
Jika
disebutkan “buya godang” tak lain tak bukan itu kembali kepada abuya M. Nur
ini. Bahkan, saking berjasanya beliau, warga desa muara uwai mendedikasikan
sebuah jalan utama dengan nama ulama Riau ini.
9.
Muhadoroh
Diambil dari kata Bahasa Arab yang artinya
berceramah. Lagi-lagi asal pertamanya memang bukan dari pondok Daarun Nahdhah, tapi
istilah tersebut sudah mengakar dari pondok tertua di Riau ini sehingga sering
terngiang-ngiang di kuping santri maupun abiturent. Kegiatan Muhadoroh diadakan
setiap selasa malam, atau malam rabu. Dimana setiap santri dari kelas 1-7 sudah
mempersiapkan bahan ceramahnya, biasanya akan ditunjuk secara acak oleh mudir.
Siapa yang tidak siap mental dan bahan, maka harus siap tangan untuk di rotan.
10.
Upacara pembotakan
Botak adalah identitas dari setiap santri kelas
tujuh. Hal ini membedakan antara santri tingkat akhir dan santri junior. Biasanya
upacara pembotakan akan dilakukan pada minggu-minggu awal tahun ajaran baru. Bukan
botak biasa, tapi wajib botak licin. Upacara pembotakan dipimpin langsung oleh
mudir secara simbolis kepada salah satu santri kelas tujuh, lalu selanjutnya
akan dibantu oleh guru-guru yang hadir serta disaksikan secara langsung oleh
seluruh santri. Dulu, santri yang sudah botak dilarang memakai peci selama di
sekolah untuk waktu satu sampai dua minggu, agar membedakan santri kelas tujuh
dengan yang lainnya.
11.
Ujian 3 bulan.
Kegiatan yang selalu rutin dilakasanakan
setiap tahun ini biasanya selalu menjadi momok kecil bagi santri kelas 7. Bagaimana tidak? Ujian yang istiqomah
dilakukan hampir selama 3 bulan, ditambah lagi waktu pelaksanaannya di malam
hari ini kerap membuat santri kelas tujuh kewalahan. Hampir setiap malam
dilakukan ujian malam, kecuali selasa malam dan sabtu malam. Yang mana pada
ujian kali ini akan diujikan Sembilan mata pelajaran (mantiq, fiqih, ushul
fiqih, tauhid, hadits, mustholah hadits, qowaid, tafsir, dan dengan 5 kali putaran. Artinya akan ada 45
malam yang akan dikorbankan untuk melaksanakan ujian ini. Ganbatteee.
12.
Ujian mental.
Layaknya mahasiswa, santri tingkat akhir di
pondok pesantren Daarun Nahdhah akan diberi tugas khusus sebelum penetapan
kelulusan mereka, ujian mental namanya. Santri akan diminta terjun di
masyarakat dan melakukan kegiatan-kegiatan positif, seperti mengajar SD, MDA,
TPA, memberi ceramah, imam, membuat lomba untuk anak-anak, serta kegiatan
positif lainnya. Nantinya, kepala desa setempat akan memberikan award
yang akan menjadi pertanda kelulusan di ujian mental tersebut layaknya kegiatan
KKN (kuliah kerja nyata) di kalangan mahasiswa.
13.
Libur di hari rabu.
Berbeda degan kebanyakan pondok pesantren
yang lainnya yang menjadikan hari jum’at sebagai hari libur mingguan, pondok
Daarun Nahdhah justru menjadikan hari Rabu sebagai hari libur mingguan, karena
berbagai alasan yang historis, salah satunya karena hari pasar (hari yang
dijadikan untuk berbelanja bahan makanan selama seminggu) di Bangkinang itu
pada hari Rabu. Di mana pada hari itu, pedangan-pedangan dari berbagai daerah
datang memenuhi pasar inpres Bangkinang, sehingga sangat disayangkan bagi para
santri dan guru untuk meninggalkan momen tersebut. Ini juga hal unik yang
menjadi ciri khas dan identitas pondok pesantren Daarun Nahdhah.
Demikianlah sekulumit tradisi dan istilah
yang lahir dari pondok pesantren Daarun Nahdhah yang tentunya banyak dijadikan
contoh oleh pondok pesantren lain terutama yang di Riau. Semoga bermanfaat dan dapat bernostalgia serta mengobati sedikit rasa rindu.
Mantap buya,
BalasHapusMakasih stad
Hapusaku sih yes
BalasHapus