Home
recent

“Saya kan bukan penghapal” (?)



                Mungkin ini merupakan kalimat “tendensius”yang sering kita dengar di kalangan santri atau yang “berkedok” santri. Sebut saja namanya Budi, ketika melihat adiknya Lubna yang sudah menyelesaikan hapalan Al-qur’an sempurna 30 juz, budi memberi ucapan tahniah “selamat ya dik, udah nyelesain hapalannya”.”Terimakasih bang, abang kapan (nyusulnya)? Sekarang udah berapa juz bang?” Jawab dan tanya Lubna. “Abang kan bukan penghapal” jawab budi seolah membela diri.

                Ada dua kemungkinan, yang pertama budi sudah menghapal namun tak kunjung hapal-hapal. Maklum kekuatan hapalan seseorang tak sama. Yang kedua memang budi tidak mau menghapal sama sekali, parahnya ia berkelakar menghapal qur’an itu tidak perlu dan tidak penting.

                Budi ilmunya tinggi, pemahaman agama bagus, lulusan pondok ternama di pulau jawa, tapi menganggap hapal Al-qur’an tidaklah penting. Padahal Allah sudah mengingatkan di dalam firmannya bahwa mudahnya menghapal Al-qur’an tersebut.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ  مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”

                Uniknya, ayat yang terletak pada surah Al-Qomar ini diulang-ulang sampai empat kali pada surah yang sama.

sumber gambar: islampos
Terkadang budi beralasan “sudahlah, tak usah membantah, yang penting saya baca, dan saya paham”. Alah Budi, Budi. Mungkin dia lupa Al-qur’an punya empat fungsi, dibaca, dihapal, diamalkan, dan disampaikan. Maka cacat rasanya jika menghilangkan salah satu fungsi tersebut sambil berkilah yang macam-macam.

                Belum lagi, budi adalah seorang laki-laki yang mana pasti dituntut untuk bisa menjadi imam sholat, minimal untuk keluarga, lebih lagi untuk masyarakat, kan anak pondok. Emang jama’ah gak bosan apa dengar surah itu-itu mulu, emang ma’mum ga jenuh apa surahnya qulhuw dan inna’a’toina terus?

                Ngomong-ngomng nih, saya pernah ngisi ceramah Ramadhan di salah satu masjid di kota Bangkinang, setelah ceramah yang biasanya diadakan di waktu antara isya’ dan tarawih itu, sholat tarawih berjamaah pun dilaksanakan dipimpin imam rotib masjid yang sudah berumur. Maklum masjid tua. Setelah delapan rakaa’at pertama, saya dibisikkan oleh salah seorang pengurus masjid, “stad, kami laksanakan tarawih 23 raka’at, kalau ustad sibuk tidak apa-apa boleh pulang” ucapnya kepada saya. Saya pun menjawab “ya tidak apa-apa pak, saya juga mau 23 rakaat juga, sesekali tidak apa-apalah” padahal dalam hati saya “semoga 23 raka’atnya cepat”

                Raka’at ke sembilan dimulai, ayat-ayat pendek pun dikeluarkan oleh imam, mulai dari adl-dluha sampai an-nas. Setiap rakaat genap selalu dibaca surah Al-ikhlas, jadi komplit surah pendek semua, plus ditemani Al-ikhlas setiap rakaat genapnya. Akhirnya sholat tarawih pun selesai dilaksanakan. Saya agak kurang puas. Saya kira setiap raka’at akan bervariasi ayatnya. Namun ternyata tidak, ya sudahlah, sudah terjadi, saya nikmati sambil bersu’udzon di dalam hati.

Pernah lagi saya sholat 23 raka’at pada masjid di lingkungan salah satu pondok pesantren terkenal di kota pekanbaru. Bacaannya enak, murottalnya berganti-ganti, dan ayatnya juga bervariasi, plus tidak panjang. Menurut saya ini ideal, sehingga tak banyak timbul kegelisahan di hati jama’ah.

 Kritik saya, mending raka’at sedikit tapi ayat bervariasi.  Ya seperti yang saya bilang tadi. Hapalan merupakan suatu hal yang urgen bagi seorang muslim. Buatlah bacaan sholat kita bervariasi tidak melulu surah langganan itu saja. Kan,kok sampe ke tarawih ya cerita saya? Gapapalah yang penting ada hubungannya dengan hapalan. Sekian, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.