Buya Pada Masa Orde lama
Daarun Nahdhah sudah resmi berdiri. Tonggaknya sudah tertancap di daerah bangkinang. Kendati Negara Indonseisa sudah merdeka, rongrongan negara kolonial masih terus menakuti masyarakat. Belum genap Daarun Nahdhah berumur 2 bulan, pada akhir September 1948 agresi militer kolonial belanda terjadi di seluruh daerah, termasuk bangkinang. Banyak guru dan santri turut berkorban mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Buya godang pernah bertemu dengan sosok Muhammad Natsir, salah satu tokoh dari Minangkabau, ketua pertama partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dan salah satu perdana menteri Indonesia era prsiden soekarno. Masyumi Satu-satunya partai yang berideologi islam pada saat itu.
Sadar betul akan pentingnya kekuatan politik pada awal kemerdekaan, membuat buya memutuskan untuk turut menyuarakan kepentingan umat muslim melalui partai yang didirikan pada 7 November 1945, khususnya di kawasan Bangkinang. Buya pun ditunjuk menjadi ketua Masyumi Bangkinang pada masa tersebut.
Hal ini tentu tidak berkebalikan dengan visi Daarun Nahdhah, menghidupkan masyarakat yang islami dan mencetak kader-kader umat. Ditambah lagi makin kuatnya pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia), membuat buya semakin kokoh membela umat islam dari segala lini. Bidang pendidikan iya, bidang politik pun iya.
Kekhawatiran akan kesesatan ideologi politik PKI pun semakin dirasakan oleh buya. Tahun 1965, pembantaian ulama-ulama dan santri di tanah Jawa dan Sumatera sampai ke telinga santri dan masyarakat. Tak pelak, beragam cara untuk melindungi Buya dilakukan.
Buya godang adalah tokoh islam Bangkinang, pendiri pondok pesantren, ketua Masyumi, memiliki pengaruh yang cukup kuat, faktor-faktor ini cukup membuat PKI semakin berambisi untuk membunuh Buya Godang. Tak ayal, santri-santri pun bergiliran menjaga buya dari segala kemungkinan marabahaya.
"Saat itu cerita kekejaman PKI belum sampai ke Kampar, tapi di pekanbaru sudah masuk, maka banyak santri-santri menjaga beliau kemana pun saat itu, santri-santri yang berbadan besar disiapkan menjaga di rumahnya, bahkan sampai menginap” tutur Buya Muhammad natsir Nur.
Perjalanan politik Buya sebagai tokoh politik (dalam hal ini politik praktis) tidak bertahan begitu lama. Tahun 1960, partai Masyumi dibubarkan oleh rezim orde lama karena beberapa tokohnya disinyalir sebagai dalang pemberontakan PRRI di Sumatera Barat.
Selanjutnya, Buya tak lagi menjabat posisi apapun dan pada partai politik manapun. Karena buya sadar keberadaan pondok pesantrennya harus netral di semua kalangan.
Tidak ada komentar: